Sejujurnya
aku iri pada tukang sayur dan tukang pengambil sampah yang hampir setiap hari bercanda gurau penuh tawa dengan bapak.
iri pada para penjaga malam yang berbincang ramah dengan bapak di temani kopi dan gorengan di pos depan.
iri pada tukang kebun yang biasa bercakap capak dengan bapak, sembari mereka membersihkan kebun dan bapak merawat setiap tanamannya.
iri pada penjual koran yang hampir setiap pagi bertegur sapa dengan bapak.
iri pada bapak pengambil cacing di parit parit yang hampir setiap sore berbagi cerita akrab dengan bapak
iri pada teman dan sahabat lama yang sering bersilaturahmi ke rumah bapak atau sekedar berbincang melalui telpon
iri pada rekan kerja bapak, yang hampir setiap hari bekerja sama dengan bapak, baik di dalam pekerjaan maupun pertemanan
iri pada penjaga kebun, penjaga rumah bapak, pegawai bapak, yang biasa di bimbing, di ayomi oleh bapak
iri pada teman-teman yang pada pernikahannya bapak menjadi saksi.
iri pada orang orang yang setiap hari berinteraksi dengan bapak
iri pada kalian semua yang menganggap bapak sebagai orang tua kalian, dan bapak menyayangi kalian seperti anaknya.
dan aku iri kepada adik adik ku, dari mulut kalian semua aku mendengar kisah manis kenangan tentang bapak, cerita yang selalu aku ingin dengar, semua cerita kebaikan yang menenangkan hati, betapa kalian merasa sangat kehilangan figur dan sosok bapak, tangisan kalian lebih haru dari pada tangis ku anaknya, tetes air mata kalian lebih mengalir dari pada air mata ku anaknya.
Aku tidak ingat kapan terakhir aku menghabiskan waktu dengan bapak, kapan aku berbincang dengan bapak, kapan aku bercerita dengan bapak, kapan aku meminta saran bapak, kapan aku bercanda dengan bapak, kapan aku berpetualangan dengan bapak, kapan aku memeluk bapak… aku terlalu sibuk dengan kesibukanku, mengarungi waktu yang aku sebut petualangan, belajar demi seuatu yang di sebut gelar, mencari pengalaman dan jati diri yang aku sebut pengalaman, berkumpul dengan sahabat yang aku sebut keluarga, menegakkan keangkuhan yang aku anggap kejantanan, hingga akhirnya aku pulang untuk tinggal menyolati dan menguburkan Bapak… rasanya baju penuh tanah merah ini tak ingin aku lepas.
Aku anak laki laki nakal bapak, yang selalu menyusahkan, yang sering kali mencoret moret nama bapak, tapi bapak selalu mengerti, bapak selalu sabar, bapak selalu percaya, bapak selalu dan selalu paham dengan anak laki laki nya. Andai semua kata bisa aku unggkap secara langsung, anda semua cerita bisa aku ceritakan dengan bangga kepada Bapak.
Maafkan anak laki laki Mu ini belom bisa membuat Mu bangga. anak laki laki Mu ini akan selalu bangga menjadi anak Bapak, anak laki laki Mu akan selalu tangguh seperti nama yang Bapak berikan kepada ku dengan bangga, dan anak Mu ini akan selalu seperti Mu, untuk melanjutkan jejak Mu, untuk meneruskan cita-cita Mu, untuk mengingat setiap kata dari Mu. Bapak beristirahatlah dengan tenang… sekarang biar aku anak laki laki pertama Mu. Terima kasih Pak